Pemerintah Jepang mengatakan bunuh diri dan depresi membuat negara
menghabiskan hampir US$32 miliar (sekitar Rp28,8 triliun) sepanjang
tahun lalu.
Uang itu -berdasarkan pengumuman resmi pemerintah- digunakan untuk
biaya pengobatan dan dukungan lainnya.
Tahun lalu tercatat 32.845 orang bunuh diri di Jepang dan angka bunuh
diri di atas 30.000 terjadi sejak 12 tahun lalu secara berturut-turut,
seperti dilaporkan wartawan BBC Vivien Marsh.
Tingkat bunuh diri itu merupakan yang tertinggi di dunia dan Perdana
Menteri Jepang Naoto Kan melihatnya sebagai bukti dari kemunduran
ekonomi dan emosi.
Dia berpendapat orang kehilangan keyakinan dan tertekan di bawah
ketidaknyamanan akan masa depan yang tidak pasti.
“Ada banyak kasus bunuh diri. Menguranginya merupakan salah satu
jalan membangun masyarakat dengan tingkat kegembiraan minimal,” kata
Naoto Kan seperti dikutip kantor berita AFP.
Satuan Tugas
Untuk menangani masalahnya -sekaligus mengurangi biaya yang
diperlukan- pemerintah Jepang membentuk satuan tugas khusus.
Salah satu upaya yang ditempuh adalah menayangkan klip dari seorang
pemain sepakbola Liga J untuk mengangkat kesadaran akan masalah bunuh
diri dan depresi dalam situs mereka.
Namun sikap atas depresi di Jepang tampaknya menuntut sesuatu yang
lebih luas lagi mengingat budaya Jepang yang menempatkan kesabaran dan
konsensus sebagai nilai yang tinggi.
Dalam situasi seperti itu, banyak orang tua yang melihat bahwa
kesehatan mental sebagai sebuah stigma, yang bisa diatasi dengan
berupaya lebih keras lagi.
Penggunaan psikoterapi dalam menangani depresi di Jepang juga jauh
lebih rendah dibanding negara-negara di Eropa serta Amerika Utara dan
dokter di Jepang cenderung melihat pil sebagai satu-satunya solusi.
Namun cara pandang itu dampaknya akan bergeser dan para ekonom maupun
pekerja kesehatan ingin mencoba bahwa konseling bisa berdampak dalam
statistik bunuh diri dan depresi di masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar