“Mencopet itu keahlian atau talenta, lae?” tanya kernet bis kota itu pada sopirnya.
Artikel ringan ini kuterima kemarin lewat email. Penulisnya memakai nama samaran Lajessca Hatebe, bekerja sebagai script editor di salah satu in housetelevisi swasta di Jakarta.
HIDUP DI RANTAU kadang memang tidak pasti. Apalagi kalau orang tersebut tidak memiliki skill, yang tentu saja bisa diandalkan untuk bersaing. Namun kenyataan sehari-hari para urban di kota Metropolitan, Jakarta, tidak terlalu memusingkan soal keahlian ini.
“Ah, kalau soal ahli, semua orang pasti punyalah, ” celetuk saudaraku sebangsa, Parlindungan, yang sudah 5 tahun terakhir ini jadi sopir bis kota. Sebelumnya, Parlin, panggilan akrabnya, ke Jakarta mau nerusin kuliah. Sayang, baru semester 5, dia drop-out karena among-nya (bapak) di kampung sana keburu dipanggil Yang Maha Kuasa.
“Ahli apanya yang lae maksud?” tukas Si Soduon, kernet Parlin. “Bukankah keahlian itu didapat dari bangku sekolah?” lanjut Soduon, yang cuma tamat SMP.
“Betul kata kau. Tapi, keahlian dari bangku sekolah itu kan namanya keahlian teoritis. Tapi, yang utama adalah keahlian karena talenta yang kau punya.”
“Bicara apa pula lae ini? Talenta itu semacam apa lae? Apa itu makanan orang Jakarta?”
Soduon bingung. Maklum saja, ke Jakarta dia karena tidak sengaja. Dia baru 6 bulan tiba. Tadinya dia bekerja sebagai tukang cuci truk Medan-Jakarta, yang sering beristirahat di Lumban Dolok, Parapat. Entah bagaimana, atau mungkin terlalu capek, Soduon tertidur di atas terpal truk sehingga tidak diketahui sopir dan kernetnya. Barulah esok harinya, setiba di Pekanbaru, Soduon kaget melihat hari sudah terang dan langit dilihatnya berjalan cepat. Ketika dia bangkit hampir saja terjatuh dari atas truk, pusing melihat truk yang kemarin sore dicucinya sudah meluncur membelah jalan Lintas Sumatera. Nasib kaulah itu, nak!
“Talenta itu adalah bakat yang kamu miliki.”
“Oohh, contohnya, aku pintar nyanyi tanpa diajari. Atau, aku bisa jadi sopir, juga tanpa diajari? Gitu kan maksudnya, lae?”
“Iya, mirip-mirip kayak gitulah itu,” sergah Parlin males banget.
“Terus, kalo mencopet itu keahlian atau talenta, lae?
Parlin sontak menoleh pada Soduon yang sedang menyapu bis, setelah seharian mereka mengutak-atik kerusakannya. Maklum sajalah, bis kota di Jakarta kan kebanyakan “sampah” dari Korea dan Jepang.
“Yang jelas mencopet itu…, nanti kau bakal masuk neraka. Ada-ada saja pertanyaan kau. Cepatlah kau sapu itu biar kita pulang dari pool ini,” ketus Parlin sambil berlalu meninggalkan Soduon yang tinggal melongo.
“Tadi masih baek-baek diajak bicara. Kok, tiba-tiba sewot gitu? Ah, macam-macam saja lae Parlin itu.”
Soduon penasaran menanyakan soal pencopet, karena dia sering dipelototi tukang copet yang naik ke bis mereka. Soduon selalu ingin kasih tahu kepada para penumpang bahwa copet hendak beraksi. Tapi, dia takut kalau nanti para copet itu malah mencabut nyawanya yang memang cuma satu.
Copet memang menyebalkan
Kala malam mulai selimuti cakrawala Grogol, langkahku selalu terhenti di halte dekat mall Citraland. Biasanya, bis yang hendak aku tumpangi 976 (Steady Safe) Manggarai-Grogol, datangnya selalu lama. Kalo gak salah dengar dari kondekturnya, tiap hari bis ini dioperasikan hanya tiga. Bahkan kadang cuma 2 bis.
Karena terlalu lama menunggu, iseng aja, aku suka merhatiin orang-orang di sekitar. Semua serba capek setelah seharian kerja. Pada bis-bis tertentu selalu terlihat rebutan naik. Kadang, penumpang yang mau turun sampai kesulitan keluar. Keadaan seperti inilah yang sering dimanfaatkan para copet itu. Mereka pura-pura ikut berdesak. Biasanya berkelompok minimal 3 orang.
Anehnya, di dekat situ ada pos bantu polisi. Tapi mereka seakan tidak pernah takut lagi sama aparat yang selalu diharapkan masyarakat bisa memberi kenyamanan dan keamanan. Di situ juga aku lihat para “timer” yang selalu memalak setiap bis yang mampir. Aku suka gak habis pikir, apa fungsi dan kontribusi mereka berada di sana. Dibilang untuk mengatur bis atau metromini agar teratur hingga tidak membuat jalanan macet, nyatanya mereka tidak pernah ambil pusing keadaan itu. Ketika mereka sudah dapat uang dari para awak bis, para timer itu langsung pergi mengejar bis yang lain.
Ketika iseng aku bertanya pada seorang bapak yang katanya tiap hari selalu nunggu bis ke arah Cileungsi, kenapa polisi yang ada di situ tidak menindak mereka, jawaban si bapak sangat mengejutkan aku. Katanya, para timer itu memberi setoran kepada bapak-bapak aparat kita itu.
Oh, pantes aja di sekitar sini tidak pernah terjadi tawuran preman berebut lahan. Rupanya sudah dibekingi aparat. Astaghfirullah!
Aku cuma masem mendengarnya. Pikiran aku tergelitik; kapan sih bapak polisi negeri ini dapat diandalkan masyarakat tanpa harus mengeluarkan duit? Bukankah mereka digaji dari uang rakyat, yang notabene telah bayar pajak, baik sebagai wajib pajak maupun dari pajak-pajak lainnya?
Lamunan sontak buyar. Suara Ames, kondektur 976 yang sudah akrab, terdengar meneriakkan: “Slipi, Kuningan, Pancoran, Manggarai, Manggarai …!”
Aku terdiam duduk dalam bis. Terlalu capek bekerja seharian. Mataku inginrefreshing memandangi lampu hias sepanjang jalan. Bau tempat tidurku mulai kurasakan merasuk sanubari. Selamat malam, sopir dan kernet bis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar