Senin, 13 September 2010

Barapa yang Bunuh Diri di Jepang Tahun Lalu?


Pemerintah Jepang mengatakan bunuh diri dan depresi membuat negara menghabiskan hampir US$32 miliar (sekitar Rp28,8 triliun) sepanjang tahun lalu.
Uang itu -berdasarkan pengumuman resmi pemerintah- digunakan untuk biaya pengobatan dan dukungan lainnya.
Tahun lalu tercatat 32.845 orang bunuh diri di Jepang dan angka bunuh diri di atas 30.000 terjadi sejak 12 tahun lalu secara berturut-turut, seperti dilaporkan wartawan BBC Vivien Marsh.
Tingkat bunuh diri itu merupakan yang tertinggi di dunia dan Perdana Menteri Jepang Naoto Kan melihatnya sebagai bukti dari kemunduran ekonomi dan emosi.
Dia berpendapat orang kehilangan keyakinan dan tertekan di bawah ketidaknyamanan akan masa depan yang tidak pasti.
“Ada banyak kasus bunuh diri. Menguranginya merupakan salah satu jalan membangun masyarakat dengan tingkat kegembiraan minimal,” kata Naoto Kan seperti dikutip kantor berita AFP.
Satuan Tugas
Untuk menangani masalahnya -sekaligus mengurangi biaya yang diperlukan- pemerintah Jepang membentuk satuan tugas khusus.
Salah satu upaya yang ditempuh adalah menayangkan klip dari seorang pemain sepakbola Liga J untuk mengangkat kesadaran akan masalah bunuh diri dan depresi dalam situs mereka.
Namun sikap atas depresi di Jepang tampaknya menuntut sesuatu yang lebih luas lagi mengingat budaya Jepang yang menempatkan kesabaran dan konsensus sebagai nilai yang tinggi.
Dalam situasi seperti itu, banyak orang tua yang melihat bahwa kesehatan mental sebagai sebuah stigma, yang bisa diatasi dengan berupaya lebih keras lagi.
Penggunaan psikoterapi dalam menangani depresi di Jepang juga jauh lebih rendah dibanding negara-negara di Eropa serta Amerika Utara dan dokter di Jepang cenderung melihat pil sebagai satu-satunya solusi.
Namun cara pandang itu dampaknya akan bergeser dan para ekonom maupun pekerja kesehatan ingin mencoba bahwa konseling bisa berdampak dalam statistik bunuh diri dan depresi di masa depan.

Tidak ada komentar: