HERMAWAN KERTAJAYA
Sampai sekarang pun, masih banyak yang bertanya kepada saya tentang apa
sih sebenarnya
marketing itu? Binatang atau makanan apa
iku yoh? Padahal, sudah banyak orang yang pegang kartu nama dengan posisi
marketing. Juga, sudah banyak buku maupun seminar tentang
marketing.
Memang, sampai sekarang pun, masih banyak kesalahpahaman tentang
marketing. Paling banyak mengartikannya sebagai penjualan atau
sales. Yang juga banyak, ada anggapan
marketing adalah
promotion dan itu berarti
spending money untuk sesuatu yang belum tentu hasilnya. Karena itu, terus ada anggapan bahwa
marketing hanya cocok untuk perusahaan besar.
Yang kecil-kecil belum waktunya… nanti malah bangkrut sebelum dapat
hasil nyata. Terus, ada yang baca buku atau ikut seminar di mana-mana,
jadi punya kesimpulan bahwa
advertising is dead,
PR is up…
Wow, jadi akhirnya orang-orang berbondong-bondong meninggalkan
marketing yang lebih banyak diartikan
advertising itu dan mulai menggantinya dengan even-even yang banyak diartikan sebagai PR.
Yang lebih ”maju” menganggap
marketing itu sama dengan
branding. Tapi, kemudian, juga
gak kurang-kurang yang kebablasan mengartikan bahwa
marketing adalah sekadar logo
-ing.
Karena itu, lantas banyak perusahaan yang mengundang desainer logo
untuk memberikan beberapa alternatif. Mereka berpikir, dengan berganti
logo yang keren, berarti perusahaan tertentu sudah jadi perusahaan yang
ber-
marketing.
Kesalahpahaman yang berakibat pada kesalahkaprahan semacam itu masih sering terjadi, walaupun saya mulai ”memperkenalkan”
marketing yang sesungguhnya lewat
Jawa Pos sejak lebih dari 20 tahun yang lalu!
Mungkin sebagian orang masih ingat. Tapi, tentunya generasi yang sekarang tidak tahu bahwa kelahiran
marketing modern di Indonesia adalah dari Surabaya, lewat tulisan-tulisan hari Rabu saya di
Jawa Pos.
Ketika ditantang Pak Dahlan Iskan untuk ikut mengembangkan
Jawa Pos sebagai ”Koran Nasional dari Surabaya”, saya langsung ikut melihat kesempatan itu. Melalui rapat-rapat di kantor
Jawa Pos
yang ketika itu masih di Kembang Jepun, kami berenam, bersama
teman-teman Surabaya yang lain, termasuk Pak Tjuk Sukiadi dan Pak
Basroni Rizal, diminta memilih topik dan hari. Di situlah saya memilih
marketing dan Rabu.
Untuk menggairahkan semangat
marketing yang waktu itu dianggap sebagai
major paling
tidak laku di kalangan fakultas ekonomi, saya bahkan mengundang Pak
Dahlan untuk menjadi pembicara tamu di kelas saya (waktu masih mengajar
di Ubaya).
Jawa Pos yang waktu sedang dibangun dengan strategi
flanking terhadap
Surabaya Post
yang raksasa saya jadikan kasus kontes di kalangan mahasiswa Ubaya.
Hadiahnya? Cukup berlangganan gratis selama sebulan bagi tim pemenang.
Waktu itu, saya bahkan sempat khusus menulis kasus
Jawa Pos
yang saya anggap sebagai David yang sedang berjuang melawan Goliath.
Konon kabarnya, kasus itu pernah dipresentasikan Pak Dahlan dalam salah
satu konferensi SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) atau PWI (saya tidak
ingat). Tulisan Reboan itu yang akhirnya berlangsung sampai 10 tahun,
tanpa absen, menjadi buku laris saya yang pertama.
Buku tersebut diedit oleh Sonny, salah seorang pionir MarkPlus di
Surabaya (sekarang konsultan butik dan pemilik merek Air Mata Kucing),
yang waktu itu hanya bekerja bersama tiga orang lainnya. Yaitu, Agus
Giri (sekarang bos MarkPlus Indonesia Timur), Vivi Jericho (sekarang CFO
MarkPlus di Jakarta), dan Hartono Anwar (sekarang sudah punya
perusahaan riset sendiri).
Marketing Plus jilid satu sampai kelima diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan.
Cerita-cerita ringan hasil pengamatan saya di Surabaya, Jawa Timur,
Indonesia, maupun di seluruh dunia yang saya hubungkan dengan konsep
marketing dalam artikel Reboan itu ternyata berhasil mulai menggairahkan dan ditunggu pembaca
Jawa Pos.
Kisah
Jawa Pos sendiri yang akhirnya menjadi cerita
marketing legendaris menjadi bukti bahwa
marketing memang bukan sekadar penjualan, promosi, iklan, atau
branding yang hanya bisa dilakukan oleh perusahaan gede. Buat saya, Dahlan Iskan
is one of the Great Marketer of Indonesia yang sulit ditiru orang.
Beliau bahkan tidak segan-segan datang ke kantor PT Panggung di Jalan
Waru dini hari sekadar untuk bisa menyaksikan World Cup (yang pada
1980-an hanya bisa ditangkap oleh antena ”wajan” raksasa yang ketika itu
cuma ada di situ). Perlunya? Untuk menggambar gol-gol yang tercipta
guna dicetak di
Jawa Pos, sehingga bisa dinikmati pembaca saat paginya. Langsung.
Waktu itu, saya memang masih menjadi GM
marketing di situ
(PT Panggung) dan beruntung karena diizinkan membolehkan Pak Dahlan
masuk ke pabrik oleh Pak Ali Subroto yang ketika itu menjabat direktur
produksi (sekarang Dirut). Lewat diferensiasi seperti itulah (ditambah
banyak yang lain tentunya), akhirnya sang David bisa mengalahkan
Goliath.
Kan saya memang selalu mengatakan di mana-mana, inti
marketing itu adalah PDB (
positioning, diferensiasi, dan
brand). Bukan promosi dll itu.
Nah, setelah sekarang MarkPlus Inc ada di Jakarta, Bandung, Semarang,
Medan, Singapura, Kuala Lumpur, dan tentunya Surabaya, rasanya berdosa
kalau saya tidak melakukan sesuatu bersama
Jawa Pos lagi di Surabaya.
Atas perkenan ”walubi” atau ”wanita luar biasa”
Jawa Pos
yang selalu saya kagumi, yaitu Mbak Nany Widjaja, mulai hari ini sampai
10 Juli, saya akan menulis lagi tiap hari untuk Anda. Kenapa sampai 10
Juli
aja? Ya, pada tanggal itu, puncaknya, saya akan meng-
organize The MarkPlus Conference yang akan menghadirkan lebih dari 12 pembicara dari Jakarta untuk membahas berbagai aspek
marketing.
Berbagai ketua Asosiasi Industri di Jatim, termasuk Sang Maestro
Dahlan Iskan, juga diharapkan hadir sebagai panel yang akan saya
moderatori sendiri. Menkominfo Moh. Nuh yang
arek Suroboyo akan datang membuka acara, sedangkan saya sendiri akan mengulas
Mid Year Review Marketing in 2008 secara nasional.
Peserta sejumlah 1.000 orang nanti juga bisa memilih topik bahasan dalam tiga
parallel sessions dengan panel yang berbeda. Pokoknya, baru kali pertama ada yang begini di Surabaya! Kenapa harus
ngotot seperti ini? Sebagai
arek Suroboyo, saya merasa punya misi untuk ikut me-
marketing-kan Surabaya dengan
event yang
different ini. Hitung-hitung ikut sekadar membantu Cak Bambang D.H. dan Cak Arif Afandi supaya Surabaya lebih
sparkling.
Kan jebul-jebulnya yang terpenting
marketing adalah
differentiation yang bisa men-
support positioning sebagai strategi dari
branding kita…
Bagaimana pendapat Anda?
(*)